
Empire Falls adalah novel dari Richard Russo yang berlatar di Maine, dan dalam sebuah kota kecil fiksional bernama Empire Falls. Diceritakan Miles Roby, tokoh prontagonis yang terjebak oleh otoritas Francine Whitting, seorang kaya yang memiliki pengaruh besar di kota tersebut. Tanpa motif-motif yang jelas, Francine membuat Miles terjebak dengan menggunakan dependensi Miles akan kebutuhan ekonominya dan memanfaatkan cinta Miles kepada Ibunya. Novel ini mengeksplorasi pertanyaan universal akan determinasi kehendak bebas maupun determinasi nasib yang sudah ditentukan oleh Tuhan, konsekuensi terhadap dominasi, dan pilihan terhadap pengorbanan kebahagiaan pribadi demi kebahagiaan orang yang dikasihi.
Dari sekian banyak tokoh yang ada dalam novel ini, saya tertarik dengan dua tokoh perempuan antagonis yaitu Francine Whiting dan Janine Roby. Francine adalah janda dari pengusaha nomor wahid di Empire Falls bernama Charles Beaumont Whiting (a.k.a ‘C.B. Whiting’) yang bunuh diri di rumahnya sendiri saat kembali dari Meksiko. Francine mengetahui perselingkuhan C.B. Whiting dengan Grace Roby, Ibu dari Miles Roby. Sejak saat itulah Francine membalaskan dendam atas pengkhianatan terhadap dirinya dengan ‘mengontrol’ kehidupan dua sejoli tersebut dan membuat mereka berdua menderita oleh cinta yang tidak bisa dipersatukan. Lain halnya dengan Janine, ia adalah istri dari Miles Roby yang pada akhirnya memutuskan untuk bercerai sejak ia kehilangan banyak berat badannya karena diet ketatnya yang sukses. Badannya yang kembali muda dan langsing bukanlah faktor utama dari perceraian mereka, tetapi karena Janine merasa tidak bahagia akan pernikahannya dengan Miles. Miles adalah sosok yang pasif, baik secara seksual maupun secara emosional. Selama lebih dari 20 tahun usia perkawinan mereka, Janine tidak pernah sekalipun merasakan orgasme dan terpuaskan secara seksual. Sikap dingin Miles yang selalu diam dan tidak pernah marah pun menguatkan pendapat Janine bahwa sebenarnya Miles tidak pernah sungguh-sungguh mencintainya.
Yang membuat saya tertarik kepada dua tokoh ini adalah bagaimana sang penulis menggambarkan dan menghidupkan mereka dalam cerita justru dengan karakter antagonis. Lebih dari itu, saya melihat bahwa sesungguhnya merekalah yang menjadi korban. Hal ini terlihat dari bagaimana Russo memposisikan para perempuan tersebut sebagai oposisi dari para ‘subjek’ (para suami) yaitu menjadi ‘objek’. Saya melihat bahwa para perempuan ini bukan beroposisi secara langsung dengan para suaminya melainkan dengan konsep maskulinitas Russo sendiri; tentu melalui perantara tokoh C.B. Whitting dan Miles Roby. Para perempuan ini digambarkan sebagai ‘pembangkang’, bernasib buruk, dan tidak bahagia, karena mereka tidak menaati konsep gender sebagai determinasi sosial dimana laki-laki sebagai pihak yang lebih bebas dalam menentukan pilihan, juga otoritas laki-laki menentukan konsep “rumah tangga ideal”, dengan kata lain kebahagiaan para laki-laki adalah kebahagiaan rumah tangga. Egosentrisme seperti ini membelenggu keinginan istri sebagai individu, yang tentu saja memiliki konsep kebahagiaan sendiri. Francine dan Janine adalah dua perempuan dengan pemikiran yang berbeda, dimana Francine yang lebih tua cenderung sebagai second-wave feminist dan Janine generasi yang lebih muda sebagai post-feminist. Mereka berdua adalah representasi perempuan dari jaman ke jaman; masa lalu (awal tahun 60an) saat pemikiran feminis menuntut egaliter, juga feminis masa kini yang sudah berasimilasi dengan determinasi sosial. Analisis saya fokus kepada penggambaran karakter antagonis Janine Roby dan Francine Whiting yang dibentuk melalui pandangan maskulinitas Russo sebagai refleksi ketidakadilan determinasi sosial terhadap perempuan.
Janine Roby dan Francine Whiting; kesenjangan generasi dan perbedaan ideologi yang disatukan oleh determinasi sosial
Francine Whiting adalah seorang wanita berumur 70-an yang terbilang kuat, tegar, sehat untuk ukuran wanita pada umurnya. Ia sudah mulai hidup sendiri sejak suaminya, C.B. Whiting bunuh diri pada usia yang sangat muda. Tidak sedikitpun kesedihan ia tunjukkan, malah sebaliknya ia menanggapi kematian suaminya dengan dingin seolah-olah kejadian itu sudah sewajarnya tejadi. Ia dengan tegar terus melanjutkan hidupnya tanpa sosok laki-laki, dan meneruskan bisnis suaminya seorang diri. Francine memang wanita dingin yang tidak pernah menunjukkan emosi dalam bentuk apapun, meskipun tidak dipungkiri bahwa ia juga merasakan sakitnya dikhianati oleh suami yang sangat ia cintai. Namun Francine memilih untuk berpikiran dengan logika, tidak menggunakan emosi; walau pada akhirnya ia berhasil ‘mempermainkan’ emosi kedua pasangan yang berkhianat dibelakangnya. Hal yang menunjukkan kecederungan Francine sebagai seorang feminis didukung oleh dialog pada chapter 29 halaman 444 antara Miles dan dirinya, saat Miles memutuskan untuk mengundurkan diri dari Empire Grill[1].
Miles : “When did you ever feel passion?”
Francine : “Well, it’s true I’m seldom swept away like those with more romantic temperaments. But we are what we are, and what can’t be cured must be endured.”
Miles : “What can’t be cured must be avenged; isn’t that what you mean?”
Dari dialog tersebut dapat kita lihat bagaimana Francine mengakui dirinya sebagai pribadi yang memilih untuk tidak bertindak mengikuti emosinya, tetapi menggunakan logika. Meskipun ia sangat mencintai suaminya, namun ia harus tetap bersikap realistis bahwa suaminya sudah menyia-nyiakan cintanya dan ia merasa berkewajiban untuk menentukan sikap sebagai seorang wanita. Dapat disimpulkan bahwa Francine sadar akan eksistensinya sebagai individu yang otonom (mandiri), dapat menentukan sikap, dan tidak memiliki sifat inferior (ditunjukkan dari kepercayaan dirinya menjadi pemimpin dari perusahaan). Karakter-karakter Francine ini menunjukkan self-sufficiency dan self-independency yang merupakan ciri khas dari second-wave feminist[2].
Tidak dapat dipungkiri bahwa modernisasi ikut membentuk determinasi sosial yang baru. Sebagai contoh pada tahun 2004 George W. Bush mendukung kampanye yang menyuarakan bahwa kependudukan bergantung pada ikatan perkawinan tradisional.[3] Pengikatan dalam lembaga pernikahan inilah yang membentuk pola pikir perempuan modern dalam dependensi terhadap laki-laki. Hak mereka sebagai individu yang otonom juga secara tidak langsung dibatasi oleh determinasi sosial, ditunjang oleh Negara yang tidak menjalankan peranannya sebagai penjamin hak warga negara. Sebagai contoh yang nyata, dunia kerja profesional yang memprioritaskan tenaga kerja laki-laki membuat para wanita merasa inferior dan tidak memiliki pilihan lain untuk survive selain dengan bergantung kepada laki-laki. Terbentuk suatu pemikiran baru yang disebut dengan post-feminism, yang sering dikatakan juga anti-feminism atau ‘pengkhianatan’ terhadap konsep feminis sendiri. Namun tidak dapat dikatakan sepenuhnya bahwa pemikiran ini adalah anti-feminis, karena masih memiliki akar-akar pemikiran feminis yaitu kebebasan. Mereka adalah para perempuan yang memfokuskan pada keadilan di dalam kebebasan seksualitas, termasuk dalam kebebasan memilih determinasi biologis (pilihan dalam reproduksi) ataupun menikah.
Lain halnya dengan Francine, Janine merupakan perempuan masa kini yang sudah dipengaruhi oleh modernisasi. Karakter Janine menunjukkan kecenderungannya sebagai post-feminist. Bukti yang memperkuat kecenderungan ini adalah bagaimana Janine akhirnya memutuskan untuk membebaskan dirinya dari belenggu ketidakbahagiaan, dan memilih untuk menikahi laki-laki lain. Janine menuntut Miles untuk menunjukkan afeksi yang lebih, mulai dari hal-hal sederhana seperti komunikasi dalam rumah tangga. Janine adalah pengikut setia dari konsep pernikahan dan ingin memiliki kebahagiaan dalam rumah tangganya seperti wanita pada umumnya; sesuai dengan konsep kebahagiaan menurutnya. Ini ditunjukkan dalam hubungannya dengan Walt Comeau lelaki yang ia pilih untuk menggantikan posisi Miles. Berkat Walt Comeau-lah, Janine akhirnya merasakan afeksi seorang laki-laki yang utuh; perhatian, kasih sayang, bahkan orgasme yang baru pertama kali ia rasakan selama 40 tahun usianya.
Perbedaan dan persamaan yang kontras antara Francine dan Janine sebagai representasi wanita dari dua generasi dan dari ideologi yang berbeda disatukan dalam determinasi yang dibentuk dalam tatanan sosial. Determinasi ini mencakup relasi kuasa laki-laki dan konsep gender. Sebagai hasilnya, mereka tidak bahagia dengan pasangan mereka. Whitting dan Janine sama-sama merasa inferior, merasa sebagai ‘the unwanted’, dan ‘the unloved’. Karakter antagonis mereka justru terbentuk karena konsep maskulinitas dari pasangannya. Mereka korban adalah bukan pelaku, karena sebagai perempuan sekaligus istri mereka memiliki hak untuk dicintai pasangannya, dimengerti, bahkan dihargai kebutuhannya. Mereka adalah korban ketidakadilan akan hak asasi manusia. Sebaliknya, Russo tidak menempatkan mereka sebagai korban ketidakadilan namun sebagai pelaku kejahatan. Perjuangan mereka menuntut hak mereka sebagai istri dan sebagai perempuan digambarkan sebagai ‘pembangkangan’ dan kriminalitas dalam rumah tangga. Selain menempatkan mereka sebagai ‘the bad’, Russo menentukan alur kehidupan yang buruk bagi mereka balasan atas perbuatan mereka. Bentukan ini lahir dari determinasi sosial laki-laki, melalui ideologi maskulinitas Russo.
Maskulinitas Russo yang ditunjukkan lewat C.B. Whiting dan Miles Roby
Secara hirarki, konsep maskulinitas berkembang dari ideologi patriarkal dimana pada awalnya patriarki adalah sistem sosial dimana peran laki-laki sebagai figur yang berkuasa merupakan pusat dari seluruh tatanan organisasi sosial[4]. Sebagai contoh peran ayah dalam keluarga memegang otoritas penuh terhadap perempuan, anak-anak, dan properti. Berkat adanya determinasi yang dibentuk dari konstruksi sosial masyarakat patriarkal, maka muncullah sebuah konsep yang dinamakan maskulinitas. Menurut KBBI[5], maskulinitas adalah kejantanan seorang laki-laki yang dihubungkan dengan kualitas seksualnya. Namun, konsep maskulinitas yang terlihat pada Russo bukanlah maskulinitas secara seksual. Namun lebih kepada spesifikasi gender yang menimbulkan kurangnya kepekaan atas pasangan (dalam hubungan, secara emosional, maupun hubungan intim), kesulitan menampilkan afeksi dan komitmen dalam hubungan, self-defense mechanism, dan sebagainya. Hubungan hirarki Partriarkal hingga efek-efek yang ditimbulkan akan diperjelas menggunakan bagan berikut:
Garis hitam tebal menunjukkan hubungan langsung, yaitu jenis. (contoh: Spesifikasi gender laki-laki ada dua, yaitu kuat dan otonom.)
Garis putus-putus menunjukkan hubungan sebab-akibat.
(contoh: spesifikasi gender laki-laki yang kuat, menimbulkan pemikiran bahwa laki-laki dituntut untuk tampil kuat secara fisik, maupun secara emosional)
Bagan di atas bukan hanya menunjukkan konsep maskulinitas secara hirarki, namun juga menjelaskan bagaimana efek yang ditimbulkan dari konsep tersebut mempengaruhi pemikiran laki-laki, juga mempengaruhi gaya penulisan Russo dalam menggambarkan Francine dan Janine.
Konsep maskulinitas Russo ini tidak digambarkan secara langsung melalui karakter C.B. Whiting dan Miles Roby. Para lelaki ini justru merupakan kunci untuk membentuk alur cerita, yang pada akhirnya mendeterminasikan karakter Francine dan Janine. Para lelaki tersebut dibuat seolah-olah menjadi ‘korban’ untuk memposisikan point of view pembaca ke dalam proyeksi maskulinisme, lalu berpikiran oposisi dengan karakter-karakter tersebut tanpa benar-benar melihat esensi dari para perempuan ini.
Maskulinitas Russo Yang Determinan Vs. Posisi Francine dan Janine
Berikut adalah gambaran posisi Francine dan Janine, dikontraskan dengan ideologi maskulinitas Russo yang determinan. Mereka adalah ‘tertuduh’, yaitu dalam hal ini mereka dituduh bersalah atas haknya untuk bertindak sesuai dengan pilihannya. Berikut adalah gambaran oposisi biner dari posisi para perempuan dan suaminya yang terdapat dalam buku dengan kaca mata maskulin Russo, maupun yang terjadi berdasarkan sudut pandang perempuan.
Sudut Pandang Russo:
Sebaliknya, yang seharusnya terjadi berdasarkan sudut pandang perempuan terlepas dari kaca mata maskulinitas adalah:
Dari kedua tabel oposisi biner di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam proyeksi maskulinitas, ada beberapa unsur yang terbalik, beberapa unsur yang ditambahkan, maupun unsur yang dihilangkan. Tabel ini menunjukkan pembuktian atas prroyeksi maskulinitas Russo secara tidak langsung telah menciptakan karakter yang baru, dimana samasekali berbeda dengan karakter asli dari para perempuan ini. Sebagai penutup, konklusi dari analisis ini adalah bagaimana pandangan Maskulinitas Russo menggambarkan karakter perempuan antagonis yang tidak ideal, akibat dari determinasi sosial sebagai refleksi ketidakadilan perempuan dari masa ke masa.
[1] Restauran milik Francine yang dikelola oleh Miles [2] Second-wave feminist adalah pemikiran yang dimulai dari pergerakan kaum wanita yang dimulai pada tahun 1960 dalam memperjuangkan pengakuan sebagai warga negara secara de facto, meliputi kesetaraan hak dalam profesionalisme karir dan hak dalam kesertaan politik (menentukan hak pilih suara) [3] Dikutip dari “Post-Feminism and Popular Culture” karya Angela McRobbie, via Google Cendekia dengan alamat website: http://weblearn.ox.ac.uk/site/human/women/students/biblio/historiog/McRobbie%20-%20postfeminism.pdf [4] http://en.wikipedia.org/wiki/Patriarchy [5] http://kamusbahasaindonesia.org/maskulinitas
Referensi:
http://weblearn.ox.ac.uk/site/human/women/students/biblio/historiog/McRobbie%20-%20postfeminism.pdf
http://kamusbahasaindonesia.org/maskulinitas
http://en.wikipedia.org/wiki/Patriarchy
http://repository.ui.ac.id/contents/koleksi/11/a9ac9ad3a7f2de97a80bf49f8048abdafa3aa1d4.pdf