Part 1.
“Ma, aku mau kenalin mama ke seseorang.”
Ujar anakku di siang hari itu tanpa diawali angin dan disambut hujan. Aku sudah tahu siapa maksudnya. Mungkin kali ini ia sudah mantap. Anak perempuanku, Arie, memang ku tahu cukup konservatif. Teman pria yang ia bawa ke rumah bisa dihitung jari. Aku tak pernah mengajarinya, apalagi soal urusan pertemanan dengan lawan jenis. Aku hanya pernah bilang bahwa banyak yang aku sesali. Aku tak mawas diri. Aku tak ingin ia merasakan penyesalan yang sama.
Pada dasarnya Arie anak yang baik, penurut, bahkan tanpa diminta. Padahal aku dan suami selalu memanjakannya. Jika orang bilang bahwa kehidupan sebagai orang tua itu berat, aku sama sekali tak merasakannya. Bahkan sebagai anak tunggal pun, Arie tak pernah manja atau bikin masalah. Hidupnya hanya sekitar organisasi kampus dan rumah. Arie lebih senang menghabiskan waktu di rumah, mengajak ngobrol nenek, atau mengurus tanaman hiasnya. Bahkan tanpa sadar aku mengikuti kebiasaan Arie. Aku tak lagi bekerja sebagai penulis. Cuma mengisi seminar sesekali, lalu sisanya di rumah.
Sesungguhnya aku yang beruntung. Aku tak perlu pusing seperti temanku, yang selalu mengeluh kalau anak perempuannya sudah kumpul kebo dengan pacarnya.
”Biar saja, anak sudah besar tak usah diatur.” ujar Bu Kemal.
”Tapi mana bisa saya tutup mata bu. Rara itu kan masih kecil.” Ujar Bu Wennie.
”Rara bukannya sudah 27 tahun bu?” ku jawab datar.
Bukan bermaksud usil. Tapi aku memang gemas dengan Bu Wennie yang suka mengumbar cerita pribadi. Maksudku, ini kan klub baca. Tak perlulah kita bahas hal yang intim. Aku juga tak terlalu tertarik dengan cerita hidup mereka. Bukankah kita di sini karena ingin lari dari kenyataan?
”Masalahnya aku jadi malas datang ke kumpul warga bu. Sering disindir. Capek aku.” Sahutnya.
Sedikit aku tergoda untuk menyanjung Arie di depan mereka. Namun ku tahan karena aku tak mau dicap tak sensitif. Cukup aku yang tahu bagaimana sempurnanya Arie.
Lamunanku diketuk oleh suara Arie.
”Dia senior di kampus, bu. Rie kenal dari kegiatan kampus dulu. Waktu temu alumni Rie ketemu dia lagi.”
”Sekarang dia sudah kerja?”
”Iya, bu. Kerja di perusahaan swasta. Memang sih perusahaan milik papanya. Tapi dia gak manja kok bu. Dia merintis dari bawah, gak pake kolusi.”
”Iya, kenalin aja dulu nak. Ibu belum bisa komen kalau ndak liat orangnya langsung.”
Part 2.
Hari ini Bu Yanti yang cerewet. Lagi dan lagi hal yang menarik untuk dibahas adalah anak. Aku hampir memutar bola mataku, namun ku tahan.
”Capek bu, aku kirim ayat-ayat dan hadist ke Annisa. Bahkan video-video ceramah yang aku dapet dari WA group. Anaknya tetap ndak mau berhijab.”
”Padahal umur gak ada yang tahu ya, bu.” sahut bu Laras memanas-manasi.
Harusnya ia bersyukur, Annisa tak seperti Rara yang kumpul kebo dengan pacarnya. Jika kita pakai kacamata yang sama, bisa kan berpikir seperti itu? Namun urusan ini benar-benar tak penting bagiku. Lagi-lagi aku bersyukur punya Arie yang cantik dan tak pernah aneh-aneh.
”Bu, aku permisi duluan ya. Aku ada acara sama Arie.”
Aku pun pamit.
Sore itu sore yang biasa saja. Aku sedang berusaha menyelesaikan buku yang sedang ku baca dari klub baca. Segelas chardonnay dan kue manis jadi cemilanku. Memang ada yang aneh dengan lidahku, kebas terhadap rasa. Di umur yang senja ini tubuhku semakin tak disiplin. Terlebih setelah suamiku meninggalkan kami. Rasanya aku mengisi kesepian ini dengan sedikit mabuk di sore hari, juga makanan tak sehat, seolah keduanya bisa mengisi kehampaan yang aku rasakan.
”Maaa, kan sudah aku bilang no wine before dinner!” Arie datang dan mengambil anggur dari tanganku. ”Lagipula, I need you to be sober for tonight.”
Arie tak pernah mengeluh soal kebiasaanku ini. Bahkan setelah 5 tahun suamiku pergi, disusul Ibuku 2 tahun kemudian, Arie tetap tegar mengurusku. Dia yang dewasa di rumah ini, aku merasa semakin jadi anak kecil. Arie yang tak pernah lelah membantuku menjejakkan kaki ke bumi. Kalau tak ada Arie, aku lebih baik mati.
”Bu, Alex sudah datang.” Ujar Arie sambil berlari ke arahku. Tersungging senyum di wajahnya. Lari kecilnya membuatku teringat padanya saat ia masih kecil. Senyumnya yang sumringah persis seperti saat ayahnya baru pulang dari kantor.
”Halo tante, Saya Alex. Terima kasih ya tante, sudah mengundang saya.”
”Halo.” Jawabku sambil membalas genggaman tangannya.
Tangannya halus. Tak pernah kerja kasar, pikirku. Rasanya malu jika menebak apa yang ia pikirkan saat menyentuh tanganku yang kasar. Tangan yang puluhan tahun bekerja menghidupi keluarga dan mengurus rumah tangga.
”Saya sempat kaget waktu tahu kalau Arie anaknya tante. Semasa kuliah saya selalu baca buku tante. Nge-fans berat deh tante!”
Aku berlagak kaget.
”Wah senang dengar kamu punya minat baca. Arie dulu baca buku setiap minggu minimal tiga buku, loh. Sekarang boro-boro deh.” jawabku sambil bercanda.
”Ih ibuuuu. Aku kan bacanya buku kuliah sekarang.”
Alex bercerita tentang pekerjaannya, perusahaan papanya, bagaimana ia memulai semuanya dari nol. Kalau boleh jujur, aku tak terlalu tertarik. Aku tak ingin dicap jahat, namun apa yang kamu harapkan dari pria yang tak bisa lepas dari ketiak ayahnya?
Untuk mendapatkan posisinya, perlukah ia melewati proses wawancara yang rumit?
Pernahkah ia takut akan dipecat?
Apakah mungkin ia cuma jadi sarana cuci uang?
Aku akui aku sinis. Aku tak suka pada Alex. Tak ada satu pun hal menarik yang keluar dari mulutnya. Namun aku tak mau terlihat berseberangan dengan Arie. Malam itu aku melihat Arie tersenyum setelah sekian tahun lamanya. Pupil matanya membesar bagaikan anak kucing yang sedang menyusu pada induknya. Mungkin badannya terasa ringan karena jalannya terkesan melompat lincah, persis orang bahagia. Aku yakin anakku jatuh cinta.
Aku gigit lidahku keras-keras. Aku tak mau mengeluarkan kata-kata yang bisa aku sesali. Aku tak mau menyakiti Arie karena ialah yang aku punya saat ini. Terasa surreal melihat anak tumbuh jadi manusia. Ini salah satu milestone yang membuat bulu kudukku berdiri.
”Bu, minggu depan Alex mau datang dengan Ayah dan Ibunya boleh?”
Aku nyaris teriak. ”Loh kok buru-buru sekali?”
”Iya tante. Saya benar-benar berharap bisa kenalan segera. Mungkin ini mengagetkan untuk tante, tapi jujur tante, sayang sayang banget sama Arie. Saya rela hidup dan mati saya buat Arie tante. Maaf kalau lancang, tante.”
Aku hanya diam. Tiba-tiba Arie meneruskan, ”Ayah dan Ibunya mau datang ’minta’ Arie, bu.”
”Rie, Ibu paham kalian saling mencintai. Tapi kan kamu bilangnya ini cuma kenalan? Ibu juga baru pertama kali ketemu Alex, kan?”
Muka Arie tetiba memerah. Aku yakin aku baru saja salah berucap. Alex yang tadinya menempelkan badannya lekat-lekat di meja seolah ingin menerkamku, seketika mundur menempelkan punggungnya ke sandaran kursi. Seolah yang ia prediksikan terjadi, ia melenguhkan napas kecil yang nyaris tak ada suara.
Arie hanya diam menahan air mata lalu pamit membereskan piring di meja. Aku merasa terserang. Aku merasa bingung dan marah, mengapa jadi aku yang salah?
Setelah makan malam yang canggung, Alex pamit pulang. Aku mengintip dari balik jendela, ia sempat mengecup kening Arie dan mengusap air mata yang tumpah di pipinya.
Part 3.
”Rie, kamu tau kan kalau Ibu akan selalu dukung kamu? Rie tau kan, Ibu bukan musuh Rie?”
Di ranjang Arie kita duduk bersebelahan. Dengan hati-hati aku meminta tangannya agar bisa ku genggam. Aku ingin menata ulang malam ini. Aku tak pernah suka berkelahi dengan Arie.
”Iya, bu. Maaf. Cuma Ibu yang Arie punya.”
Rasanya janggal mendengar Arie memanggil dirinya dengan ’Arie’. Meski hanya beda satu huruf, seketika aku merasa berjarak dengan Arie. Panggilan ’Rie’ sudah diucapkannya sejak umur 2 tahun. Selama 20 tahun ini aku tak pernah mendengarnya menyebut dirinya dengan ’Arie’ saat berbicara denganku.
”Rie mau jujur cerita ke Ibu?” kutanya padanya hati-hati.
”Bu, maafin Arie ya.” tangisnya pecah.
”Arie hamil bu.. Arie udah hamil 2 minggu. Arie malu bu, malu sama Ibu. Malu sama teman-teman. Kita harus cepat nikah biar gak ketahuan. Ini aib bagi Arie, bu.”
Entah karena mendengarnya menyebut dirinya sebagai ’Arie’ atau karena ku tahu dia hamil, seketika aku merasa kehilangan gadis kecilku. Seketika aku menyadari bahwa kepolosan Arie dan kenaifannya adalah fantasiku semata. Aku merasa bodoh karena tak melihat gejala-gejala ini sebelumnya. Aku yang naif, berpikir bahwa hubungan seksual hanya bisa dilakukan di hotel, dan kau harus menginap semalaman. Aku yang lupa bahwa hubungan seks bisa dilakukan sekilas pintas, di belakang kampus, atau di mobil. Entah karena aku lupa, atau sebagian otakku memilih untuk jadi bodoh.
“Bu, selama ini Arie kan gak pernah minta aneh-aneh sama Ibu. Cukup satu ini aja bu, Arie cuma mau minta restu sama Ibu.”
Kepalaku berat. Aku hanya ingin tidur. Lalu aku tinggalkan Arie, aku bilang aku lelah.
Malam itu aku menenggak 2 butir valium dengan segelas anggur. Harusnya aku tambah lagi 5 butir biar mati.
Part 4.
Aku terpaku. Aku bisa merasakan mulutku menganga karena bibirku terasa kering. Entah berapa lama bibirku tak mengatup. Beberapa detik sebelum aku sadar, aku merasakan pandangan aneh dari para tamuku. Termasuk lelaki itu. Lelaki yang berdiri dengan istri dan anaknya di hadapanku. Aku yakin bahwa ia juga ingat denganku. Seketika perutku mulas, seolah ingin menguras dirinya sendiri. Tanpa sadar aku genggam tangan anakku. “Mama kenapa?” ujarnya. “Ini om Ilyas dan ini tante Vera.”
“Mari masuk, om dan tante.” ujar Arie lagi.
Aku hanya diam. Aku berharap ada badai kencang atau iblis hadir setelah mereka masuk, untuk menyadarkanku bahwa ini mimpi. Jujur, aku tak pernah tahu nama Ilyas sebelumnya. Namanya di telingaku begitu asing, mungkin ia terpendam jadi memori yang tak ingin aku gunakan. Namun wajahnya tak akan aku lupa. Setelah 30 tahun lamanya, ingatanku yang terkubur kembali menyeruak seperti bau bangkai. Inilah rahasia yang aku kubur dalam-dalam, tak satu pun manusia tahu. Tiba-tiba aku rindu Ibuku.
Arie mencubitku dan berbisik, ”Mama minum wine lagi ya? Sudah habis berapa gelas? Please ma, jangan bikin malu Rie.”
Mataku mengeluarkan air, namun cepat-cepat kuhapus sebelum ada yang melihatnya. Badanku merinding seperti kedinginan. Aku merasakan pori-poriku bertekstur bak kulit ayam. Reflek aku merangkul diriku sendiri, entah karena cemas, bergidik, atau pertahanan diri. Semua yang terjadi puluhan tahun lalu terasa jelas seperti terjadi kemarin.
“Jadi gini mbak Lani… boleh saya panggil mbak ya?”
Tentu kau harus memanggilku mbak, bajingan. Aku ingat kau masih ingusan saat aku sudah mahasiswa tingkat akhir.
“Maksud dari kedatangan kami adalah, kami ingin menunjukkan bahwa kami sangat mendukung bersatunya Alex dan Arie.”
Rasanya tak tega mendengar nama Arie meluncur dari mulut busuknya.
“Saya sering tukar pikiran dengan Alex, dan Arie juga sering datang ke rumah. Kurang lebihnya saya memahami mengapa Alex benar-benar mantap dengan Arie. Intinya, saya sangat senang dan bahagia apabila kita semua bisa jadi keluarga besar.”
Arie sering datang ke rumah katanya? Dan Arie baru pertama kali membawa Alex ke sini. Mataku terasa perih. Mungkin karena daritadi aku melotot. Sang istri yang benar-benar cantik dan jauh lebih muda dariku duduk di sampingnya, berusaha memaksakan senyum. Aku yakin ia merasa rahangnya pegal. Dari kerutan wajahnya yang nyaris tak ada, aku yakin perempuan ini tak pernah senyum seumur hidupnya. Kalau pun pernah, senyumnya tak pernah sampai ke mata.
“Kalau menurut mbak Lani baiknya bagaimana?”
Sikapnya yang tenang dan percaya diri menegaskan bahwa ia tak tahu anaknya sudah menghamili gadis kecilku. Anak dan bapak sama saja, pikirku. Aku tak tega melepas Arie pada keluarga ini.
Oh Arie yang bodoh dan malang. Arie yang akan menikahi seorang dari keluarga kaya tanpa perjanjian pra-nikah. Arie yang tak akan mewarisi apa-apa karena harta yang menempel dan ditinggalinya merupakan investasi atas nama orang tua. Arie yang hanya akan jadi hiasan di rumah megah. Seketika aku ingin marah dengan Arie dan ingin memeluknya. Arie-ku yang bodoh.
Arie menyikutku seolah tak sabar.
“Ya anaknya sudah mau sama mau. Sudah yakin sekali sepertinya. Saya bisa apa? Arie sudah besar, dia tahu resiko dari apa yang ia jalani.”
Seperti butuh beberapa menit untuk mencerna kalimatku. Dan beberapa menit selanjutnya untuk mengolah kata yang tepat. Jeda yang terlalu lama membuat suasana makin canggung.
“Kami senang sekali mendengarnya, mbak. Apa yang mereka pilih kita restui saja, agar ke depannya mereka tak ada hambatan.” lanjut sang istri.
Aku hanya mengangguk pelan. Dari awal aku sudah dipaksa dan tak punya hak bersuara. Jantungku rasanya seperti diperas-peras. Aku kelelahan menahan perasaan.
Aku ingat di dapur masih ada whiskey suamiku yang belum pernah dibuka. Aku tinggalkan mereka dan pamit ke dapur. Mungkin menenggak segelas whiskey akan membuatku waras dan meredam tanganku yang gemetar.
Lalu laki-laki itu menghampiriku.
“Lani. Kau masih ingat aku?”
Aku hanya diam.
“Aku tak menyangka bisa bertemu lagi dengan cara seperti ini.”
Aku mengalihkan pandanganku pada pisau yang berkilat-kilat dan duduk manis di tempatnya. Tadi sore baru saja pisau ini ku asah. Pisau ini salah satu benda kesayanganku karena merupakan oleh-oleh suamiku dari Jepang. Gyuto nama jenisnya, didisain untuk para koki profesional. Pisau ini merupakan hybrid dari pisau Nakiri yang tradisional Jepang, namun bisa digunakan untuk kebutuhan masakan western. Mata pisaunya yang sangat tajam dapat mencincang sayur dan daging hingga tipis, pun bentuknya mengingatkan kita pada pisau Sabatier asal Prancis. Yang aku suka dari pisau ini adalah.. kedua sisinya tajam.
“Lani?” Ujarnya lagi.
“Tak usah sok ramah. Kau pikir aku masih sudi lihat wajahmu?”
“Loh. Kenapa?”
“Kau tak ingat apa yang terjadi dulu?”
“Aku ingat. Tapi itu kan dulu. Aku masih muda, Lani. Kita masih sama-sama nakal bukan?” ia berkedip sambil menuangkan whiskey ke dalam gelasku. Lalu meminumnya.
Aku bisa merasakan kulitku panas, entah karena marah atau karena alkohol. Pernahkah kau merasakan jijik hingga kau merasa harus mandi?
”Tak perlu lah cerita masa muda kita diceritakan pada anak-anak kita. Sebentar lagi kita jadi besan, bukan?” ia mengedipkan matanya padaku sambil berpaling dan menuju kembali ke ruang tamu.
Part 5 (end)
Kejadiannya begitu cepat. Aku mendengar tangis yang tajam, disertai teriakan pilu dari segala arah. Tanganku berlumuran darah. Apa yang terjadi?
Bising sekali. Aku tak bisa berpikir.
Sebentar, sebentar. Bagian mana yang terlewat?
Bau amis darah membuatku mual. Aku muntah sejadi-jadinya. Ekor mataku menangkap sosok Arie, menangis histeris sambil memeluk kakinya. Aku ingin memeluknya namun aku aku baru menyadari ada pisau di tanganku. Gerakanku malah seperti ingin menusuknya. Apa ini?
”Stop! Stop! Jangan bergerak! Diam.” suara Alex menyambarku seperti petir. Tangannya memegang telepon, merekatkannya pada telinga dan berbicara pada sisi seberang, satunya lagi seolah ingin menghentikanku.
Di sampingku ada perempuan yang menangisi seorang laki-laki. Aku tahu dia tak lagi bernyawa. Mereka bergumul dalam darah, persis seperti babi yang bergumul di dalam lumpur. Dari punggung laki-laki itu terlihat ada 16 lubang yang masih mengalirkan darah segar. Lubang yang terbesar ada di bagian leher. Bukan, bukan lubang. Seperti kain yang terkoyak. Seperti parit yang menganga. Warnanya gelap.
Kepalaku pusing. Aku ingin tidur. Aku rebah di dalam genangan merah, bercampur muntah. Aku memalingkan wajahku pada mayat laki-laki itu. Sekilas aku menangkap wajah dengan mata terbelalak.
Oh iya, aku ingat. Ini laki-laki yang pernah memperkosaku.
Lalu aku memejam. Lama sekali. Aku berharap tak terbangun lagi.
Epilogue
Malam itu malam yang biasa saja. Aku sedang menyelesaikan tugas akhir semesterku saat Ana menelpon dan mengajakku clubbing. Tak apalah, sebelum ujian akhir. Tak ada salahnya sesekali bernapas dan larut dalam buaian alkohol.
Malam itu kami hanya bertiga, Ana, Desi, dan aku, Lani. Tak ada yang benar-benar peduli pada tugas akhir kecuali aku. Ana tak perlu khawatir karena selesai kuliah ia akan segera dipinang oleh pasangannya. Desi akan melanjutkan kuliah ke Melbourne, dimana orang tuanya jadi donatur tunggal. Aku? Aku yang miskin ini harus dapat IPK tinggi agar bisa dapat pekerjaan layak. Ibuku sudah lumpuh, tak mampu bekerja. Ayahku tak ada sejak aku kecil. Aku hanya bisa mengandalkan diriku.
”Gue bayarin minum ya, first round? Sisanya kalian bayar sendiri atau modal flirty dikit. Siapa tau ada yang mau bayarin.” Ujar Desi centil sambil mengedipkan matanya sebelah.
Aku tak ingin minum hingga kalap. Aku setuju untuk keluar hanya karena tak ingin sendiri di asrama. Lagipula aku tak kuat minum. Aku hanya minum jika dibayari Desi dan Ana.
Malam itu playlist yang diputar semuanya lagu-lagu favorit kami. Kami berdansa bertiga. Aku berjanji akan menjaga Desi dan Ana karena aku memang ingin sober malam itu.
20 menit sejak kami tiba, segerombolan pria mendatangi kami dan mengundang kami ke mejanya. Mereka bilang mereka punya minuman berlebih, karena ada beberapa teman yang tidak jadi datang. Alasan klasik. Karena terlalu gelap aku tak menghitung jumlah mereka. Aku sebenarnya ragu, karena hal ini membuatku tak nyaman.
Seperti biasa, Desi dan Ana sudah minum dan dirangkul oleh beberapa pria. Sesekali Ana berbisik pada mereka ‘Maaf, aku sudah tunangan.’ Tapi apakah itu menghentikan mereka? Kau tahu jawabannya.
Pria di sebelahku tak ikut berdansa. Ia hanya duduk menatap lantai dansa, bersikap seolah aku tak sadar dia sengaja menemaniku. Tinggi, posturnya cukup ideal, menggunakan kacamata, rambutnya sedikit ikal dan berantakkan. Dari jam tangan Rolex-nya aku tahu bocah ini terlalu dimanjakan. Dari wajahnya aku tahu dia lebih muda dariku.
”Kamu gak ikutan?” tanyanya.
”Enggak. Aku capek. Mau nonton aja.”
”Wooooohoooo.. ayo Lan, siniiii.” teriak Desi sambil merangkul laki-laki yang entah siapa. Dia tak sadar laki-laki itu sedang berusaha meremas pantatnya.
”Namanya Lan..?”
”Alan. Namaku Alan.” ujarku cepat.
”Hah, cewe kok namanya Alan? Haha”
Aku tak pernah memberikan namaku pada orang asing.
“oke, kenalan beneran yuk? Aku Ilyas.”
“Hai.” Singkat saja kujawab.
Lalu Desi menarikku ke lantai dansa. Percayalah ketika kamu mabuk, kamu akan semakin ingin minum. Beberapa orang akan merasa seksi saat mabuk, beberapa akan merasa semuanya lucu. Tapi Desi? Desi akan memaksa teman-temannya untuk minum. Ia mencekokiku dengan minuman sehingga aku sama mabuknya dengannya.
Aku berciuman dengan banyak laki-laki di tempat itu. Kecuali Ilyas.
Ilyas hanya melihatku. Ia tak melepaskan tatapan matanya dariku. Aku yang mabuk berusaha menatapnya balik, sembari mencium laki-laki lain. Ilyas menatapku tajam. Bahkan di balik cahaya yang redup, aku bisa melihat wajahnya bersemu kemerahan. Entah karena terangsang, atau karena mabuk.
”Pinjam handphone sebentar boleh? Aku mau telpon valet. Handphone-ku lagi di-charge di bar.”
Aku berikan hp-ku pada Ilyas tanpa pikir panjang. Lalu aku muntah di celananya.
Desi dan Ana membawaku ke kamar mandi dan aku muntah sejadi-jadinya. Aku muntah hingga tenggorokanku kering. Hingga isi perutku hanya tersisa cacing.
Kami pun pulang. Ana dan Desi jadi penyelamatku. Aku bersyukur aku tak jatuh ke pelukan pria dan melakukan hal yang akan aku sesali keesokan harinya.
***
Keesokan harinya di kampus, aku menerima sebuah teks yang isinya: “You looked great last night. Remember me?” dari sebuah nomor asing.
Aku bertemu banyak orang yang tak sempat ku jabat tangannya dan ku dengar jelas namanya. Berciuman toh tak perlu kenalan, jika kamu sudah mabuk. Sudah pasti aku tak ingat. Aku hanya ingat bahwa aku berkelakuan seperti perempuan jalang semalam.
Aku amati profile picture yang tertera di halaman foto pengirim teks. Ia menggunakan seragam dari partai politik yang ku benci. Ia mendukung calon presiden yang aku benci. Mungkin ia ikut berpolitik dengan ayahnya.
Aku membuka tombol telepon, ingin menelpon Desi, namun yang kutemukan adalah nomor asing. Seingatku nomor terakhir yang aku hubungi adalah orang tuaku.
Ilyas.
Itulah yang pertama kali ku ingat. Dia yang menggunakan handphone-ku terakhir kali. Rupanya ia menelpon handphone-nya sendiri untuk mendapatkan nomorku. Mungkin ia tahu aku terlalu mabuk untuk mengingat nomorku sendiri. Atau di hati kecilnya ia sadar aku tak akan pernah memberikan nomorku. Licik.
“Hey. Iya masih ingat. Ada apa ya?”
“Siang ini aku jemput ya? Aku kebetulan lagi dekat kampus kamu nih.” Balasnya.
Aneh. Benar-benar aneh.
“Aku ada kuliah sampai sore. Gak bisa. Maaf ya.” balasku. Segera kumasukkan handphone ke dalam tas dan bersiap masuk ke kelas selanjutnya.
Selesai kelas aku menemukan ada 52 panggilan tak terjawab, dengan 30 teks masuk, semuanya dari Ilyas. Aku takut dan merinding. Ada apa sebenarnya? Aku tak sempat membaca teks tersebut hingga ke atas, karena teks terakhir baru saja muncul.. Ding! Jantungku berdebar.
“Aku udah di parkiran ya.”
Ini bukan berdebar senang. Baru kali ini aku merasa benar-benar takut. Tak ada jalan keluar dari kampus selain melewati parkiran. Desi dan Ana tak ada di kampus karena mereka sedang bolos kuliah. Mampus aku.
Pura-pura tak tau saja, deh.
Baru beberapa menit aku berjalan, terdengar suara memanggilku. ”Lani!”
Seorang laki-laki melambaikan tangan dari balik pintu mobil. Badannya hanya keluar setengah. Boro-boro mau menghampiriku. Caraku dipanggil saja seperti memanggil tukang parkir.
”Hai.”
Dari mana dia tahu nama asliku? Siapa yang kasih tahu kalau aku ngampus di sini?
”Masuk yuk? Kita dinner ya?” jawabnya cepat.
”Hah? Kenapa?”
”Yuk ikut aja, udah mau magrib loh. Ntar pulangnya aku anterin, daripada naik ojek malem-malem gini.”
Aku masuk ke mobilnya dengan bingung. Ilyas pun terlihat tergesa-gesa, seolah tak mau terlihat sedang berada di kampus itu. Harusnya aku sudah curiga.
Beberapa menit berjalan ia bertanya, “Kamu mau makan apa?”
”Yang paling deket asrama-ku aja ya.”
”Tapi kita mampir dulu ya, aku mau beli pesenan mamaku.”
Ilyas hanya diam sepanjang jalan. Sesekali ia menatapku sembari tersenyum. Sikapnya yang aneh membuatku bergidik, namun aku juga sedang tak ingin berbasa-basi. Jadi aku hanya diam.
Ketika sampai ke daerah pertokoan di tengah kota, ia segera turun dan menyuruhku tunggu di mobil. Awalnya aku mengiyakan dan tak curiga, hingga aku mendengar bunyi ”klik”. Pintu mobil dikunci. Mengapa harus dikunci? Apakah kunci itu untuk menahan orang masuk, atau menahan orang keluar?
Aku mulai panik. Haruskah aku membuka kuncinya dari dalam dan keluar saat itu juga. Aku berusaha menelpon Desi tapi nadanya sibuk.
”Makasih ya udah nunggu.” suara Ilyas mengagetkanku. Sembari masuk tangannya menghampiri tanganku dan mengelusnya perlahan.
Aku kaget. Secara reflek aku menggeser tanganku. Ilyas lalu mengalihkan pandangannya ke jalan dan segera menghidupkan mobilnya.
Aku sedang mengirimkan teks panjang pada Desi ketika aku menyadari bahwa mobil berputar haluan. Kini kami tak lagi mengarah ke asramaku.
”Kok lewat sini?” tanyaku.
”Aku tahu jalan pintas.”
20 menit kemudian kami sampai di gang yang sangat sepi. Gang yang tak pernah dilalui orang, hanya muat satu mobil. Tak ada orang masuk maupun keluar. Tempat antah berantah.
Tenggorokanku kering. Aku tahu apa yang akan terjadi.
”Maaf ya aku kemarin pulang duluan, mendadak aku ada urusan.”
Hah? Apakah Ilyas mengartikan tatapanku dengan salah? Mengapa dia minta maaf? Apa dia pikir aku mengundangnya? Aku atau dia yang gila sih?
Ilyas mulai meraba pahaku dan berusaha menciumku. Aku menamparnya.
”What the fuck are you doing?!!”
“Loh, bukannya kamu flirting sama aku kemarin?”
”Gila kamu! Bawa aku pulang cepat!”
Lalu dia diam. Dia mengusap matanya dan menangis. Mungkin penolakan begitu terasa menyakitkan hingga membuat matanya pedih.
“Please.. aku mohon. Abis itu kita pulang deh. Yayaya.” ucapnya masih sambil menangis.
”Please aku mohon..”
Aku ikut menangis dan teriak. Mobil dikunci. Sekeras apapun aku berusaha membukanya, aku akan tetap terkunci di dalamnya.
”Please please please banget aku mohon please..”
“Aku enggak mau!!”
Kunci mobil buru-buru ia simpan di dalam kantongnya. Central lock tertutupi oleh punggungnya. Tetiba aku merasa tak berdaya.
Besar juga nyalinya, memohon untuk melakukan hubungan seksual denganku sambil menangis. Laki-laki macam apa! Setengah jam sudah tawar-menawar ini berlangsung. Aku sudah keburu muak dan putus asa. Aku bertanya apa maunya. Ia bilang ia hanya ingin menyentuh kelaminku sambil meracap.
Dalam keputus-asaan, aku mengiyakan. Aku hanya ingin cepat pulang. Aku tak ingin berada di sini lagi. Ia meracap sambil memasukkan jarinya di vaginaku, berkhayal dan melenguh seperti sapi. Aku hanya menangis. Vaginaku perih oleh kukunya. Aku ingin ini semua cepat berlalu.
“Kalo gini aku lama banget kelarnya”
Fuck. Mau apa lagi?!
Ia berjanji akan cepat beres jika aku memberikan oral seks. Ya, dia bilang ini akan mempermudah dan mempercepat proses ini. Gila! Ia bilang semakin cepat ia selesai, semakin cepat ia akan mengantarku pulang. Aku semakin jijik, namun mengiyakan. Karena aku takut. Karena aku ingin pulang. Karena aku ingin lari.
Mulutku terasa asin karena ludahku bercampur dengan air mata. Aku merasa jijik dengan diri sendiri. Aku ingin teriak, namun yang ku lakukan hanya menangis.
“Gak bisa.” ia bilang.
Mungkin karena aku menangis. Tak ada yang mau bercinta dengan wanita yang menangis. Ia merasa hubungan ini harus dua arah. Ia memaksakan agar hal ini seolah mendapatkan consent dari dua belah pihak.
“Kamu di atas ya. Please please please aku mohon.. please…”
Aku menangis semakin keras. Aku meronta seperti orang gila. Namun hasratku untuk pulang dan pergi jauh dari orang gila ini melebihi rasa kesalku. Aku ingin muntah.
Namun aku mengiyakan.
Ternyata benar, hanya butuh 2 menit untuknya selesai.
Aku menggunakan rok-ku kembali dan menatap nanar keluar. Saat mobil melaju, aku sudah lunglai. Lelah menangis. Lelah meronta. Bajingan ini pun ikut bermata sembab karena menangis. Aku berusaha meredam tangisku dalam diam, hingga tenggorokanku sakit seperti menelan batu. Sakit. Sakit sekali.
Seluruh badanku sakit. Ulu hatiku nyeri.
Sesampainya di asrama, aku mandi air hangat. Aku buang baju yang ku gunakan. Lalu aku tidur hingga pagi. Aku terpaksa bolos dua kelas karena kepalaku pusing. Tanpa sadar aku nangis semalaman. Hal pertama yang aku lakukan pada pagi harinya adalah membeli pil kontrasepsi darurat.
Aku mengecek handphone dan menemukan 12 panggilan tak terjawab dari Desi.
Apakah ia memaksa dan mencengkeram tanganku? Ya.
Apakah ia mengancamku? Ya.
Apakah ia memanipulasi keadaan? Ya.
Apakah ia menggunakan kekerasan, kau bilang? Tidak.
Ia hanya menguntit, memaksa, mengancam, memanipulasi.
Dan memohon. Sambil menangis.
Entah mengapa saat berada di atasnya tak kucekik dia hingga mati.