Pundak

(Sumber foto)

Aku mengamati pundakmu, tampak belakangmu, perlahan menjauh. Lalu pundakmu melebur dan menyatu dengan pundak-pundak lainnya. Barulah aku menyadari kau telah meninggalkan tempat ini, meninggalkanku sejauh-jauhnya hingga pundakmu menjadi sebuah titik yang tertelan kerumunan. Kapan kau akan kembali?


Sore itu, di tempat yang sama kau duduk sambil menikmati kopimu. Dengan hati-hati kau masukkan cairan itu ke tubuhmu. Cangkirnya mencetak bibirmu. Dan bibirmu basah. Kau jilat perlahan. Indah sekali. Aku tahu kita bisa bicara tentang banyak hal namun kelihatannya pikiranmu sedang sibuk. Sesekali kau menulis sesuatu di sebuah buku catatan kecil, namun ponsel itu selalu punya banyak cara untuk mengganggumu. Sesekali kau harus menengok ke ponselmu, lalu ke jam tanganmu, lalu ke buku catatanmu. Apa kau sedang menunggu?

Aku sedang menunggu. Aku menunggu waktu yang tepat untuk berbicara denganmu. Tidak, aku tidak akan bertanya bagaimana kau melihat dunia, atau bagaimana pendapatmu tentang alam semesta. Aku tidak ingin memusingkanmu dengan pertanyaan yang tidak relevan. Aku akan bertanya tentang hal-hal kecil, seperti, apakah kau sudah mencuci rambutmu. Atau apakah kau suka mengendarai sepeda ke kantor. Apakah kau menikmati hari ini. Apakah cuaca terik seperti ini mengganggumu. Apakah kau ingin makan es krim. Pertanyaan-pertanyaan remeh yang kujamin tidak akan membuatmu berpikir. Karena aku tau dari lekuk tegas di dahimu, kau sedang pusing.

“Aku baru saja mencuci rambutku tadi pagi. Ya, terkadang aku mengendarai sepeda. Apa? Tentu saja. Ini hari yang indah bukan? Meskipun memang sedikit terik. Wah, benar juga, makan es krim sepertinya asyik.” sahutmu.

Lalu aku bertanya, apa pernah kau merasa sendirian?

Belum sempat kau menjawab, ponselmu berdering. Kau mengangkatnya.

“Ya, aku akan berada di sana 20 menit lagi. Apa? Ya, tentu saja aku tunggu.” Lalu kau meletakkannya lagi di samping cangkir kopi.

Aku bertanya, apa yang sedang kau tunggu.

“Aku menunggu rekan kerjaku. Ia akan berada disini 10 menit lagi.”

Aku bertanya, apa kau dari luar angkasa.

“Hahahahaha, mengapa kau tanyakan itu?” jawabmu sambil menatap ponsel.

Aku diam. Aku merasa konyol.

Dengan canggung aku hirup kopiku yang sudah mulai dingin. Kuperhatikan kau dari atas hingga ke bawah. Kemeja itu sedikit terbuka di bagian dada. Terkadang kau sampirkan kacamatamu ke atas kepala, rambutmu menggulung. Jam tangan yang kau kenakan sungguh pas di pergelangan tangan kirimu. Manis dan apik. Warnanya senada dengan kemejamu. Aku harus menahan napas karena aku tidak ingin kau tahu jika aku berdebar. Bisa kau rasakan?

Aku kembali bertanya, apa kau melihatku?

Kau hanya tersenyum simpul. Sopan sekali. Seolah baru melihatku pertama kali. Mengapa? Kita sudah ratusan kali bertemu di kedai kopi ini. Ku hafal bajumu, aksesorismu dan semua perbincangan kita. Ku hafal gayamu melihat arloji itu. Bahkan aku tau apa yang kau pesan; caffe latte rasa hazelnut dengan namamu yang tertulis di cangkir kertasnya. Bukan hanya itu, aku suka sekali melihat jemarimu menyisir santai rambut yang menghalangi pandanganmu.

Aku tahu kau suka anjing. Wallpaper ponselmu mengatakan demikian. Aku tahu kau suka musik, karena headset itu tak pernah lepas dari telingamu. Kadang kau begitu terlihat tak bergairah, lalu kau keluarkan novel yang tak habis-habis kau baca itu dari tasmu. 3 minggu sudah kau membaca buku yang sama. Lalu senyum itu, senyum yang tak habis-habis kunikmati. Senyum yang biasanya muncul ketika kau melihat notifikasi di ponselmu. Aku tak peduli pada apa yang kau lihat, aku hanya peduli pada senyum itu.


Lalu aku mulai panik.

Lelaki itu muncul dari belakangmu. Merangkul bahumu. Kau tersenyum dan menengok ke arahnya. Kau berdiri dan memeluknya. Lelaki itu mencium bibirmu. Di depanku.

Amarah menghampiriku dengan meluap-luap. Dahiku panas, darahku mendidih. Dengan gemetar aku antar kaki ini ke meja kalian. Kulayangkan kepalanku ke tulang pipi lelaki ini. Lalu kau berteriak.

“Apa-apaan ini?! Siapa kau?”

Tanganku berdenyut-denyut.

“Hey, apa maksudmu?! Kau kenal dia?” lelaki ini bertanya padaku, lalu padamu.

“Aku bahkan tidak mengenalnya.”

Petugas dan satpam menghampiri. “Ada masalah apa pak?”

“Lelaki aneh ini tiba-tiba menghampiri dan menyerang saya. Saya bahkan tidak mengenalnya. Istri saya juga tidak mengenalnya.”

Kau… tidak mengenalku? Setelah 3 minggu belakangan kita duduk bersisian, kau bilang kau tidak mengenalku?

“Orang gila! Demi Tuhan sayang, aku tidak mengenalnya.”

“Saya juga melihat, istri saudara datang sendirian.” Satpam itu menanggapi.

“Maaf pak, sepertinya lebih baik anda pergi. Kami tidak ingin kejadian ini menganggu kenyamanan tamu-tamu lain.”

Tapi. Aku mengenalnya. Dia mungkin tidak kenal aku, namun aku mengenalnya. Aku mengenalnya. Lalu? Obrolan kami? Tidak mungkin. Tidak mungkin aku mengada-ada. Semuanya begitu nyata.

“Cih!” lelaki itu meludahi wajahku. Kau diam saja. Kau tampak ketakutan. Kau berlindung di balik pundaknya.

“Sebaiknya kami yang pergi.” Kau bilang.

Lalu aku mengamati pundakmu, tampak belakangmu, perlahan menjauh. Lalu pundakmu melebur dan menyatu dengan pundak-pundak lainnya. Barulah aku menyadari kau telah meninggalkan tempat ini, meninggalkanku sejauh-jauhnya hingga pundakmu menjadi sebuah titik yang tertelan kerumunan. Kapan kau akan kembali?

  3 comments for “Pundak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *